Perkenalkan, Anderta Depama alias Anderta, penyanyi pop berambut gimbal pendatang baru asal Bukittinggi, Sumatera Barat. Hijrah ke Bandung dan beberapa kota lainnya di Indonesia untuk menjadi musisi Top 40 selama bertahun-tahun sebelum akhirnya bosan menyanyikan lagu-lagu orang lain dan memutuskan untuk memulai karir profesional sebagai penyanyi solo di bawah label rekaman independen Mahakarya yang juga mengelola karir band Seventeen.
Belum lama ini penyanyi bersuara sangat unik dan khas ini telah merilis single debutannya yang berjudul ”Jujur Saja” yang sempat merajai beberapa tangga lagu radio-radio terkemuka di Jakarta dan kini sedang mempersiapkan dirilis album mini perdana miliknya yang didukung oleh Herman, gitaris Seventeen dan Dygo, bassist Drive. Simak wawancara Rolling Stone dengan Anderta tentang hubungan rambut gimbal dengan musik pop, kejenuhannya dengan musik Top 40, dukungan orangtua dalam karir musik serta opininya sebagai orang Melayu tentang musik pop Melayu.
Ceritakan tentang single Anda, “Jujur Saja”.
Ini lagu pertama yang gue rekam. Bukan lagu gue sih, lagunya Herman (gitaris Seventeen). Awalnya gue ketemu Dendi (manajer), dia minta dikirimin demo suara gue. Herman dengar, dan akhirnya dia bilang, “Wah, ini cocok nih buat lagu gue.” Awal 2010, gue ke Jakarta buat dengerin lagunya dan proses. Baru akhirnya gue rekaman untuk single “Jujur Saja” ini.
Yang membuat Anda tertarik untuk serius terjun ke dunia musik apa?
Pertama, ini memang tujuan dan cita-cita gue. Dulu pas tahun 2004, gue sempat juga main di kafe-kafe Bandung dan mulai tahun 2007 gua mulai main di daerah-daerah. Akhirnya gue mutusin untuk jadi lebih nasional dengan bawain lagu-lagu gue sendiri. Kebetulan ada tawaran itu, gue deal sama Mahakarya (label rekaman) untuk bawain lagunya Herman yang “Jujur Saja”.
Selama di Bandung main di mana saja?
Udah muter gue di sana, dari Score!, Fame, Tropicana, pokoknya buat Bandung udah gue puterin semua.
Jadi Anda sudah merasa bosan tampil di cafe?
Udah sampai di titik jenuhnya. Gue main seminggu tiga kali di Bandung, kalau di daerah itu tiap malam. Cuma sekali liburnya.
Anda bisa menciptakan lagu juga?
Bisa, gue ada nulis beberapa lagu.
Alat musik yang dapat Anda mainkan?
Rata-rata gue bisa, tapi nggak full, sekadar bisa saja.
Selama Anda “ngamen” dari kafe ke kafe, apa pelajaran yang Anda dapat dari situ?
Yang pasti gue banyak banget bawain lagu orang dari bermacam genre, dan itu menghasilkan ide tersendiri buat gue kalau bikin lagu. Selain itu, vokal gue jadi terasah terus dengan tampil tiap hari. Vokal gue jadi lebih matang. Selain dapat penghasilan bulanan juga ya pastinya (tertawa).
Kalau begitu apa tidak enaknya?
Mainnya durasinya bisa sampai tiga jam. Emang setiap jam pasti dipotong istirahat sih, tapi itu tiap hari digeber. Kalau gue nggak berhenti bisa lebih parah. Di satu sisi itu bisa bikin suara elo matang, tapi di satu sisi bisa bikin rusak juga.
Tapi itu kan pekerjaan yang Anda mau, yang Anda senangi...
Awalnya, lama-lama gue mikir kayaknya ada jalan yang lebih baik dari ini.
Memang kalau sudah jadi penyanyi cafe sudah stuck?
Kalau kita tidak coba buat mengubahnya. Tujuan musisi kan sebenarnya sama, ada karyanya. Original.
Kenapa akhirnya Anda memilih Herman untuk lagu “Jujur Saja”?
Itu proses dari label. Jadi gue dengar materi buatan Herman dulu. Setelah proses hearing, gue coba nyanyi. Ternyata memang cocok dan asik. Gue juga kenal Herman dari Dendi.
Bagaimana cerita perkenalan pertama Anda dengan musik?
Awalnya mungkin dari Tante dan Om di Bukit Tinggi, Padang. Mereka berdua penyanyi lagu daerah. Dari sana kayaknya gue jadi tertarik buat nyanyi. SMA gue mulai ngeband.
Kapan pertama kali Anda sadar kalau bisa nyanyi?
SMP kelas tiga. Awalnya belajar gitar dulu. Terus mulai sambil nyanyi-nyanyi, ternyata gue bisa nyanyi. Beres SMA gue juga sempet bikin band selama dua tahun, tapi gue sadar di Bukittinggi atau Padang tuh daerahnya kurang mendukung untuk karir gue dalam bermusik. Lagipula di sana, pada zamannya, band lokal tuh tidak didukung. Mereka tetap bergantung sama band-band Jakarta dan Bandung. Akhirnya Februari 2004 gue hijrah ke Bandung. Di sana gue mulai karir profesional.
Biasanya orang Padang berkelana untuk berdagang dan bukan bermusik. Apa yang membuat Anda yakin bermusik sebagai putra daerah?
(tertawa) Lihat respon dan pendapat orang-orang. Dari bakat menyanyi juga. 99 persen keberhasilan itu dari bakat, begitu kata orang bijak. Makanya jadi makin yakin.
Orang tua sendiri gimana?
Mendukung banget. Gue pas bilang mau ke Bandung juga bukan bilang mau cari kerja atau cari uang, tapi malah langsung bilang mau ngeband.
Kenapa memilih ke Bandung? Apa karena Anda tahu kalo Bandung itu kota musik?
Beberapa informasi sih. Kalau lebaran kan yang kuliah di luar kota, termasuk Bandung, pada pulang ke Padang. Ada yang bilang, “Sayang kalau elo mau bermusik tapi di sini doang, nggak berkembang. Mending langsung ke tempatnya aja. Elo bisa eksplor buat karya elo.”
Ke Bandung dulu naik apa?
Awalnya naik bus, terus kapal laut. Pokoknya gue ngerasain banget, emang jauh.
Dimodalin sama orang tua?
Ada tambahan, kebetulan gue juga udah ada tabungan dulu, ngumpulin uang pelan-pelan sebelum berangkat. Nggak minta sih sama orang tua, tapi dibilang, “Nih buat elo, buat pegangan.” Yah, biasalah orang tua.
Sudah pernah mudik selama Anda hijrah?
Udah, insya Allah tuh gue setiap tahun pulang. Dulu pas tahun pertama aja nggak karena masih fighting. Alhamdulillah, berikut-berikutnya udah bisa.
Siapa musisi yang mempengaruhi Anda?
Spesifiknya gua nggak punya, sebab dari pengalaman sebelum-sebelumnya, gue beranjak dari Top 40, all around. Jadi banyak banget, dari rock, pop, reggae, segala macamnya masuk ke otak gue.
Anda berambut gimbal juga karena suka reggae?
Kalau ini memang pilihan gue, gue suka imej kaya gini.
Dari kapan rambut Anda gimbal?
2007, jalan tiga tahun.
Apa yang membuat Anda digimbal, padahal Anda bukan musisi reggae.
Gue tipe orang yang memang suka eksperimen untuk rambut gue. Gue udah pernah bleaching, cat rambut, apalah, semuanya. Terakhir gue gondrong. Gue bingung, diapain lagi ya? Akhirnya gue pengen coba digimbal gini. Eh, keterusan sampai sekarang. Terus pas ketemu Mahakarya, mereka bilang, “Nah bener nih, imej elo kaya gini aja.” Jadi imej yang gue bangun ya seperti ini sekarang.
Orang-orang pasti mengira Anda anak reggae.
Ekspektasinya memang kaya gitu, kadang-kadang gue disuruh bawa lagu reggae. Kadang-kadang gue iseng kalau lagi di panggung, “Kira-kira gue bawain lagu apa nih?” Mereka ngiranya reggae. Ternyata mereka salah (tertawa).
Anda bosan disangka seperti itu?
Tidak juga, sebab kalau di Indonesia memang masih pemikirannya orang gimbal itu pasti reggae. Mungkin kalau di luar sana gimbal itu lebih ke style. Gue juga lebih ke style-nya, bukan karena ideologi Rastafarian.
Bagaimana kalau suatu saat ada produser musik terkenal minta Anda potong rambut?
Fleksibel (tertawa). Dan alhamdulillah, sekarang dapatnya gue pengen, mereka juga pengen. Kalau memang gue disuruh mengubah imej dan itu lebih baik buat gue dan mereka punya alasan logis yang bisa gue terima, ya gue nggak masalah.
Apakah Anda digimbal karena faktor hoki?
Hoki sih emang ada ya, tapi gue lebih percaya sama Tuhan dan usaha daripada sama rambut (tertawa).
Sekarang banyak penyanyi-penyanyi solo di Indonesia, apa yang Anda tawarkan untuk bisa bertahan di industri yang ketat persaingannya ini?
Pertama, yang gue tawarin itu gue bukan seperti penyanyi solo kebanyakan. Dari imej saja udah berbeda. Terus melihat dan menimbang, suara gue punya ciri khas tersendiri dan semoga mudah diingat sama orang-orang yang dengar. Itu yang bikin gue yakin untuk bisa survive. Dan gue bakal selalu ada dan nggak akan hilang. Terus gagal coba lagi, gagal coba lagi, gagal coba lagi.
Memang pernah gagal sebelumnya?
Belum sih (tertawa).
Dari sisi musik, kenapa tidak mencoba membuat band daripada karir solo seperti ini?
Jadi gue sama Mahakarya sempat ngobrol-ngobrol juga, sharing lah, “Jadi gue mending solo apa band?” Kalau band, gue harus ngumpulin lagi orang-orangnya, harus nyocokkin lagi, harus menyesuaikan sama lingkungan lagi. Sementara kalau solo gue tinggal nge-take. Gue mikirnya, “Ini bakal ribet nggak ya?” Lagipula gue kalau mau ngeband juga bisa pakai additional, jadi Anderta walaupun solo kan konsepnya tetap band. Live-nya juga pakai band yang sama.
Lagu yang sudah fix untuk mini album ada berapa?
Udah beres tiga materi, tinggal dirilis. Ada lagu ciptaan Dygo (gitaris Drive) judulnya “Selalu Ada” sama lagu Herman juga yang judulnya “Bintang di Langit”.
Produsernya siapa?
Masing-masing lagu diproduseri, di mixing, di mastering sama masing-masing pencipta lagunya.
Kapan rencana mini albumnya dirilis?
(tertawa) Belum sih, masih pengen fokus di single “Jujur Saja” dulu.
Bagaimana pencapaian untuk single “Jujur Saja”?
Untuk radio airplay sih di Mustang sempat nomor satu, Gen FM paling tinggi nomor tiga, Prambors masih di chart sampai sekarang, Hard Rock juga, dan di radio-radio Bandung juga lumayan. Untuk penjualan RBT atau manggung sih sudah lumayan untuk ukuran awal.
Anda sudah pernah tampil di acara-acara televisi seperti Mantap, Dahsyat, Inbox, dan acara lain seperti itu. Apa komentar Anda dapat tampil di acara tersebut?
Sesuatu yang berbeda. Pada saat gue tampil di cafe itu lebih live, mungkin yang gue hadapin itu cuma yang di depan. Kalau tampil untuk acara televisi, ada tambahan ilmu, yaitu bagaimana harus memposisikan diri gue di kamera, bagaimana caranya untuk mengajak penonton di rumah untuk ikut bernyanyi, bagaimana dengan penonton yang di studio.
Anda lebih menikmati yang mana?
Sama. Intinya tuh gue bernyanyi. Dan gue senang nyanyi. Paling bedanya kalau di televisi lebih banyak dilihat orang, scope-nya lebih nasional.
Punya tujuan yang spesifik dalam memilih karir sebagai musisi?
Yang pasti gue pengen diterima, pengen dikenal secara nasional. Gue penyanyi, gue pengen semua orang denger suara gue. Gue yakin tujuan gue ini jadi profesi buat gue, bisa menghasilkan finansial yang layak buat gue nantinya.
Jadi bisa dibilang popularitas dan uang?
Lebih tepatnya sih karir, karir gue sebagai penyanyi ya harus dikenal.
Kenapa Anda seperti menghindari popularitas?
Nggak menghindari popularitas, tapi kalau elo bagus dan dikenal, itu akan ada dengan sendirinya.
Anda kan penyanyi dan sudah lama main di cafe-cafe, bagaimana penilaian dan komentar Anda sendiri terhadap musik pop Indonesia sekarang ini?
Perkembangannya pesat menurut gue. Dalam hitungan hari saja banyak sekali band-band baru bermunculan yang membawa genre pop. Termasuk genre yang diminatilah.
Sebagai orang Melayu, musik pop Melayu menurut Anda?
Banyak banget sih sekarang, paling banyak malah.
Ada personal favorite dari musik pop Melayu itu?
Nggak ada sih kalau favorite, senang dengarnya aja kali ya.
Apa yang ada di musik Indonesia dan di daerah Anda kan berbeda, ada dua definisi untuk pop Melayu itu. Musik pop daerah yang ada di Padang itu kan termasuk pop Melayu, jika dibandingkan dengan ST 12 atau Wali misalnya. Seperti apa opini Anda?
Ya, bagus aja sih sebetulnya. Mereka kan memainkan apa yang mereka inginkan. Kalau kita mainin yang kita inginkan pasti akan terdengar lebih bagus, lebih jujur. Mereka jujur kalau menurut gue.
Dari Anda sendiri ada keinginan untuk memainkan musik seperti itu?
Belum sih. Lagipula sepertinya gue lebih bagus di pop yang sekarang ini.
Ada orang yang ingin Anda ajak kerja sama untuk produksi musik di masa datang?
Paling gua pengennya kolaborasi aja sih. Kalau di atas panggung gue pengen sama Andi Rianto. Cita-cita gue juga untuk main di Harmoni. Komposisi musik yang dia bikin enak banget, dengernya asik. Gue sering juga nonton Harmoni, gue langsung mikir, “Wah, enak juga nih diiringi sama Andi Rianto dengan full orchestra.”
Artis internasional? Mungkin Anda punya idola berhubung dulu membawakan musik Top 40.
Gue senang U2, Coldplay, Michael Buble, dan Sting. Gue senang banget mereka semua.
Kalau artis lokal?
Seventeen (tertawa). Drive, Gigi, Slank, Iwan Fals. Satu lagi, dulu pas SMA gue sering banget dengerin Sheila on 7.
Anderta itu nama asli?
(tertawa) Iya, nama asli dari orang tua; Anderta Depama.
Artinya apa?
Itu dia nggak tau, ini yang ngasih nama almarhum kakek gue sih sebetulnya. Orang tua gue ditanyain juga jawabnya, “Wah, gue juga enggak tau, itu yang ngasih kakek elo.” (tertawa).
Apa sih harapan Anda dengan single “Jujur Saja”?
Dengan single ini gue pengen orang bilang, “Oh, ini ya Anderta.” Gue pengen ini diterima, dinikmati sama orang yang denger.
Bagaimana kalau nggak diterima? Apa yang terjadi?
Gue yakin ada yang terima ada yang nggak. Kalau pun nggak diterima gue pasti akan mencoba lagi. Ibaratnya ini adalah sebuah kunci besar buat gue, gue nggak punya kunci lain.
Tapi kalau disuruh memilih antara jadi pedagang kaya raya dengan penyanyi yang belum jelas, Anda pilih mana?
Gue yakin nyanyi ini jelas. Mendingan gue di Padang aja kalau jadi pedagang (tertawa).
Jadi sampai kapan pun Anda akan terus bermusik?
Insya Allah gue bakal terus, gue yakin. Gue pengen berhasil di sini, sukses di sini, dan gue bakal cerita ke anak-anak gue, “Papah seorang penyanyi.”


08.21
muziekonline

0 komentar:
Posting Komentar